"SEKILAS TENTANG BUKA PUASA"
al-Hajj Ahmad Baihaqi
Buka puasa adalah sebutan untuk sebuah
pekerjaan membatalkan puasa pada waktu maghrib yang dilakukan dengan
makan dan minum secara halal dan secukupnya dengan sunnah-sunnah yang
telah ditentukan. Istilah buka puasa sudah tak asing lagi bagi orang
yang mengerjakan ibadah puasa. Seolah ia menjadi trend dari ibadah yang
setahun sekali dilaksanakan. Namun tak banyak orang yang merenungi /
mengkaji rahasia dari makna yang terkandung dalam istilah “buka puasa”.
Bagi
kebanyakan kita, buka puasa itu disajikan dalam bentuk beraneka ragam
makanan dan minuman yang hampir tidak ditemukan dalam bulan-bulan lain.
Seolah ia adalah sebuah perhelatan besar untuk menjamu tamu-tamu
istimewa, terkesan mewah. Di setiap rumah, bahkan musholla atau masjid,
masing-masing memperlihatkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
biologinya. Padahal puasa itu seharusnya lebih berimplikasi pada
terbentuknya mental pengendalian hawa nafsu. Namun sepertinya orientasi
itu tidak terlihat sama sekali. Kenikmatan yang diraih adalah kenikmatan
jasadiah yang justru malah menutup kenikmatan ruhaniah yang seharusnya
termanipestasi pada rasa syukur.
Dalam bahasa Arab, buka puasa itu disebut futhur atau ifthar. Bentuk mashdar (kata benda) dari akar kata kerja fathara. Futhur juga dipakai untuk sebutan sarapan pagi. Secara etimologis, bentuk kata futhur berasal dari huruf fa tha dan ra. Huruf-huruf itu juga merupakan sumber dari kata fithrah yang berarti kesucian. Jadi, futhur dengan fithrah berasal dari satu sumber yaitu fa tha ra yang artinya adalah kesucian.
Futhur dalam pengertian orang puasa bermakna “buka puasa”. Istilah buka puasa harus dipahami secara hakiki bukan secara syar’i.
kalau pemahaman buka puasa berhenti pada pengertian syari’at, maka buka
puasa itu tidak bermakna apa-apa kecuali membatalkan puasa dengan cara
makan/minum pada saat maghrib. Orientasinya hanyalah biologis,
jasadiyah.
Biasanya, istilah buka itu lebih identik
sebagai permulaan, bukan symbol yang menunjukkan sebuah pengakhiran.
Namun dalam pengertian pada umumnya, istilah “buka” itu diartikan justru
sebagai penutup puasa. Jika tidak dikaji secara lebih mendalam, istilah
buka puasa itu sangatlah ironis. Bahasa Indonesia memilih istilah buka
puasa untuk pembatalan puasa pada saat maghrib bukanlah tanpa makna.
Rasulullah saw bersabda:
لِلصَّآئِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ اْلفُطُوْرِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَآءِ رَبِّهِ.
Ada dua kebahagiaan bagi orang yang puasa; Kebahagiaan pada saat buka dan kebahagiaan pada saat berjumpa dengan Tuhan.
Pada Hadits tersebut, kebahagiaan berbuka
diselaraskan dengan kebahagiaan berjumpa dengan Tuhan. Kebahagiaan
berjumpa dengan Tuhan bersifat ruhani, maka semestinya kebahagiaan
berbuka juga merupakan kebahagiaan yang bersifat ruhani. Tidak available
kalau kebahagiaan ruhani dinisbatkan pada pemenuhan kebutuhan jasad,
apalagi dihubungkan dengan kebahagiaan bertemu dengan Tuhan. Ada hal
lain dari buka puasa yang harus dikaji lebih mendalam dari sekedar
pemenuhan jasad.
Buka puasa yang dilakukan pada saat menjelang malam (maghrib)
sangatlah berkaitan erat dengan keadaan alam yang gelap. Istilah “buka”
menunjukkan sebuah penyingkapan sesuatu yang tertutup (terhijab).
Sedangkan saat berbuka jatuh pada permulaan kegelapan malam yang
menyimbolkan tertutupnya segala penampakan-penampakan. Makna saat
maghrib adalah mulai tertutupnya segala penampakan kebendaan karena
terangnya siang telah berakhir. Jadi, kegelapan malam merupakan symbol
dari ketertutupan. Karena itu, ia harus dibuka. Penekanannya lebih
kepada keadaan malam. Karena, justru pada saat malamlah sebenarnya poses
pembentukan jati diri itu berlangsung. Keheningan malam membawa kita
kepada sebuah keadaan di mana kita dituntut untuk membaca diri. Sebuah
proses awal dari mengenal Tuhan.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.
Waktu malam adalah symbol dari
ketenangan, kegelapan dan kehampaan. Semua visualisasi kebendaan sirna
pada malam hari. Kegelapan melepaskan kita dari gambaran-gambaran dunia
yang mengikat kita pada saat siang. Persepsi pikiran kita pada siang
hari sangatlah dipengaruhi oleh pandangan mata kita. Karena itu, puasa
mengarahkan kita untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu persepsi
dunia. Ketika persepsi diri terlepas dari gambaran dunia lewat menahan
hawa nafsu pada siang hari, maka diri akan terbuka (terlepas) dari
sifat-sifat dunia yang memperdaya dan siap untuk memasuki sebuah keadaan
di mana sifat-sifat Tuhan akan muncul di dalam diri kita.
Ruhani kita tidak butuh makanan dan
minuman atau partikel-partikel dunia lainnya. Ia berdiri sendiri dan
menjadi raja pada jasad kita. Pikiran kitalah yang selalu mengingkari
titah-titah sang raja. Perintah sang raja tertutup oleh perintah pikiran
kita sendiri. Puasa menundukkan pikiran kita agar ia patuh pada
perintah ruhani. Perintah ruhani terhubung pada alam yang lebih tinggi.
Sinyalnya kuat tanpa hijab dan membawa diri untuk lebih mengenal-Nya.
Pada pikiranlah nafsu itu muncul. Ia tidak perlu dimatikan tapi
ditenangkan, ditundukkan dan dikendalikan agar ia terhubung dengan
perintah dari alam yang lebih tinggi.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah
ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku”. (al-Fajr: 27-30)
Buka puasa menjelang malam mengandung
makna melepaskan pakaian dunia dari alam pikiran dan membangkitkan
spirit ketuhanan dalam diri lewat rasa kita sendiri yang telah dilatih
sejak pagi hingga menjelang malam. Kecintaan terhadap dunia berada di
alam pikiran kita sendiri, menutup akal kesadaran kita yang seharusnya
membawa kita kepada Tuhan. Seharusnya akal pikiran kita membawa kita
kepada kesadaran tertinggi yang berujung pada pola berpikir ketuhanan.
Bekerja untuk ridha Allah adalah kata kunci untuk membuat diri,
keluarga, lingkungan, dan bangsa ini menjadi stabil.
Buka puasa pada saat maghrib adalah
dimulainya sebuah proses pembukaan diri untuk menerima pesan-pesan Allah
lewat ayat-ayat-Nya baik kauniyyah maupun qauliyyah. Seperti sebuah belanga yang dibuka tutupnya, siap untuk dimasuki air. Menerima pesan Allah lewat ayat-ayat kauniyyah dan qauliyyah dapat menetralisir kehidupan diri sendiri, keluarga, lingkungan dan bangsa.
Malam adalah sebuah symbol kehampaan
karena hilangnya gambaran-gambaran dunia. Seperti bayi yang lahir dalam
keadaan fitrah. Keadaan fitrah adalah kehampaan yang tak ada satupun
angan-angan, mimpi yang menyesatkan atau hayalan-hayalan dari pikirannya
sendiri yang menyuruh untuk jadi ini dan itu. Bagi bayi, pemandangan
dunia itu belum terbayangkan dan belum mengikat pikirannya sendiri.
Karena itu, bayi dikatakan fitrah, yakni hampa dari segala sesuatu yang
merusak dirinya sendiri.
Kondisi fitrah bagi manusia dewasa diraih
dengan cara melepaskan gambaran-gambaran dunia dalam pikirannya.
Gambaran dunia itu adalah sumber kerusakan dan kehancuran. Segala
sesuatu yang berlawanan dan bertentangan, yang memunculkan peperangan,
yang memunculkan pertikaian dan yang membuat ketidakseimbangan alam,
semua bersumber dari gambaran dunia. Karena itulah, perintah puasa
diturunkan untuk membenahi segala kerusakan yang ditimbulkan dari diri
setiap orang. Jika pikiran setiap orang berorientasi pada kemaslahatan,
maka alam akan tertata dengan tertib. Keadaan tersebut adalah kehendak
Allah, bukan kehendak manusia. Karena manusia sudah tunduk pada perintah
dari alam yang lebih tinggi, yakni Allah swt.
Melatih diri untuk memasuki kondisi hampa
harus dengan pola yang benar dan strategi yang jitu. Karena yang
dilatih dalam diri kita adalah meluruskan pikiran dengan hati. Karena
hati adalah tempat bersemayamnya ruh. Singgasana di mana Allah
menurunkan perintah. Orang yang menggunakan hati untuk melihat dan
memahami sesuatu disebut dalam al-Qur’an sebagai ulul albab, yakni orang yang menggunakan lubb. Lubb adalah bagian terdalam dari hati. Rasulullah bersabda dalam Hadits Qudsi:
ِفي قَلْبٍ فُؤَادٌ وَفيِ فُؤَادٍ لُبٌّ وَفيِ لُبٍّ سٍرٌّ وَفيِ سِرٍّ أَناَ
Di dalam hati ada fuad, di dalam fuad ada lubb, di dalam lubb ada sir, di dalam sir ada Aku (Allah)
Puasa adalah pelatihan mental bukan
jasad. Jasad hanyalah gerbang untuk melatih mental. Melatih jasad tidak
serta merta mental akan terlatih. Jasad dapat terbentuk dari kekuatan
mental. Kekuatan mental terletak pada persepsi dan cara berpikir yang
selalu dinisbatkan pada nurani, yakni hati.
Buka puasa merupakan latihan untuk
membaca diri di awal malam. Membaca diri dimulai dengan istighfar atau
permohonan ampun, lalu diteruskan dengan muhasabah (pengakuan dosa),
lalu diteruskan dengan tahmid (puji-pujian), dan tasbih (penyucian).
Kesadaran itu harus membentuk suatu daya dan kekuatan untuk memperbaiki
dan membenahi diri, tidak berhenti sampai di situ.
Memiliki kekuatan untuk memperbaiki diri
merupakan kenikmatan tersendiri. Karena proses itu yang akan membawa
kita kepada kenikmatan hakiki, yakni dapat membuka petunjuk-petunjuk di
alam semesta. Membuka petunjuk-petunjuk di alam semesta juga merupakan
kenikmatan tersendiri. Karena proses itu yang akan membawa kita kepada
kesadaran yang lebih tinggi seperti yang di alami oleh Nabi Muhammad SAW
ketika Mi’raj. Muara dari segala kesadaran itu berpuncak pada Allah
swt. Hal itu tidak terjadi nanti di hari akhirat, tapi sekarang. Hari
ini kita merubah diri, hari ini pula kita telah memulai untuk berjumpa
dengan Tuhan. Kebahagiaan berjumpa dengan Tuhan adalah juga kebahagiaan
orang yang membuka diri di saat puasa.
Seseorang yang membuka dirinya untuk
menerima cahaya Tuhan adalah orang yang diberikan nikmat yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Ia akan diampuni segala dosa-dosanya baik yang
telah lalu maupun yang akan datang. Ia akan ditunjukkan pada jalan yang
lurus dan akan di tolong dengan pertolongan yang besar. Maghrib adalah
masa transisi antara terangnya siang dan gelapnya malam. Buka puasa pada
saat maghrib juga bermakna menutup diri dari pandangan-pandangan
kebendaan sebagai symbol dari siang, dan membuka diri terhadap
pandangan-pandangan haqiqi yang lepas dari unsur rupa dan warna sebagai
symbol dari kegelapan malam.
Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya kami Telah memberikan
kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu
terhadap dosamu yang Telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang
lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang Kuat
(banyak). Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan
mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi
dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Supaya dia
memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan
supaya dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. dan yang demikian itu
adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah. (al-Fath: 1-5).
Oleh : A.Ma'ruf.